Berakhirnya Pemilihan Legilatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) serentak tahun 2019 yang pertama kali diselenggarakan dibawah sistem pemilihan Indonesia menjadi penilaian dan tolak ukur keberhasilan serta menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam menyusun strategi menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak periode kedua tahun 2020 mendatang. Melihat 2 kali pemilihan serentak pilkada tahun 2015 dan pemilu 2019 sudah terlihat jelas perbaikan sistem politik dan kelembagaan politik yang kredibel, berintegritas dan berorientasi kepada kebutuhan rakyat.
Untuk mewujudkan sistem Pemilu yang ideal bagi Negara Indonesia adanya perbaikan regulasi dengan bertujuan diantaranya untuk memperkuat landasan Penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia. Pada intinya, perubahan-perubahan yang dilakukan seperti UUD 1945 melalui amandemen yang telah dilakukan sebanyak 4 kali adalah untuk meletakkan dasar-dasar pelaksanaan demokrasi (Pemilu) yang ideal bagi bangsa Indonesia. Undang-Undang yang digunakan sebagai landasan yuridis penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 adalah UU No. 7 Tahun 2017 sementara dalam pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2020 masih menggunakan UU No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
Menurut UU Pemilu dan UU Pemilihan, penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Dalam bidang pengawasan Penyelenggaran Pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Pengawas yang dimaksud adalah pengawasan dalam kegiatan mengamati, memeriksa, mengkaji, dan menilai proses penyelenggaraan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengawasan bertujuan untuk memastikan terselenggaranya pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jumlah Sumber Daya Manusia Pengawas Pemilu dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya mengalami peningkatan signifikan dengan struktur organisasi di tingkat Nasional berjumlah 5 orang, Bawaslu Provinsi 5 atau 7 orang anggota, Bawaslu Kabupaten/Kota berjumlah 3 atau 5 orang anggota, Panwaslu Kecamatan 3 orang anggota, Panwaslu Kelurahan/Desa 1 orang dan Pengawas TPS 1 orang pada setiap TPS. Jumlah Pengawas yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan pada Pileg Pilpres 2019 berjumlah 15.670 anggota yang terdiri dari Pengawas Provinsi sebanyak 5 Pengawas, Kabupaten/Kota 45 Pengawas, Kecamatan 459 pengawas, Kelurahan/Desa 2.008 pengawas dan Pengawas TPS sebanyak 13.153.
Terjadinya ketidak seimbangan ketika Jumlah SDM dikaitkan dengan objek pengawasan, maka alternatif strategi untuk mengcover seluruh objek pengawasan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Strategi ini untuk mentransformasikan gerakan Moral (Moral Force) menjadi gerakan social (Social), tidak hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara tapi semua pihak bertanggung jawab (responsibilities of all parties) atas terselenggaranya pemilu berkualitas dan lahirnya pemimpinan yang berkualitas. Partisipasi masyarakat dalam Pengawas Pemilu adalah kegiatan untuk memastikan terlindungnya hak politik warga masyarakat, memastikan terwujudnya pemilu yang bersih, transparan, dan berintegritas dari sisi penyelenggara dan penyelenggaraannya, mendorong terwujudnya pemilu sebagai instrumen penentuan kepemimpinan politik dan evaluasi kepemimpinan politik dan mendorong munculnya kepemimpinan politik yang sesuai dengan aspirasi terbesar rakyat.
Walaupun muncul perbaikan sistem politik dan penguatan lembaga politik namun angka partisipasi masyarakat dalam aspek pengawasan Pemilu masih sangat lemah dilihat dari 3 kali pelaksanaan Pemilu di antaranya Pileg Pilpres 2014, Pilkada serentak 2015, Pileg Pilpres 2019 dengan lebih banyak jumlah temuan pengawas daripada laporan dari masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada pelaksanaan Pemilu tersebut.
Peran Millennial
Strategi dalam membangun Pengawasan partisipatif dengan perkembangan zaman digitalisasi ini adanya sebutan baru seperti generasi Millennial, dimana Millennial sebagai bagian dari masyarakat diharapkan menjadi garda terdepan dalam mengawal Penyelenggaraan Pilkada serentak. Karakteristik mendasar generasi Millennial dalam memilih kecenderungan pada pemilu 2019 bersifat rasional dan secara sadar ingin ikut berpartisipasi, kaum Millennial juga cenderung tidak malu-malu, dan kritis, dalam politik generasi Millennial mempunyai sikap yang tegas dan tidak ragu untuk menyuarakan sikap politik mereka. Seperti terjadi dengan Nathan Law umur 15 tahun sempat melumpuhkan pusat bisnis hongkong pada tahun 2014 dan diusianya yang masih 23 tahun menjadi anggota parlemen termuda di Hongkong dengan mengantongi 50 ribu suara (Time.com 2016,The rule of Nathan Law: Talking Freedom, Democracy and Neckties with Hongkong’s Youngest Ever Legislator).
Terjadi juga di Inggris, peristiwa Brexit bisa menjadi indikator keterlibatan Partisipasi Politik Millennial, jajak pendapat YouGov menyebutkan (Dilansir dari CNN), hasil survei yang melibatkan 4.772 orang di Inggris Raya, 64 persen usia 25 sampai 29 tahun ingin inggris raya tetap bersama Uni Eropa, sementara 61 persen yang berusia 30-34 menginginkan untuk pergi termasuk juga pemilih usia 45 tahun keatas. Suara kelompok Millennial ini kalah, sehingga akhirnya Inggris Raya keluar dari Uni Eropa. Sikap politik Millennial terlihat jelas, mereka berani bersuara. Gerakan serupa pun juga terjadi di Indonesia, Gerakan yang diinisiasi oleh kaum Millennial semula diniatkan untuk mendorong Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta melalui jalur Independen yaitu Gerakan Teman Ahok. Gerakan ini dimaksud menciptakan pemimpin yang dapat bergerak mandiri tanpa harus ada keterikatan denga partai politik, harapannya dapat memimpin dengan lebih jernih dan transparan.
Pada masa kepemimpinan Soekarno pernah mengatakan bahwa “ beri aku 1000 orang tua niscanya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscanya akan kuguncangkan dunia” Kata-kata tersebut menggambarkan gerakan Millennial di Hongkong, Inggris dan Indonesia bahwa potensi pemuda sangat besar terhadap perubahan.
Millennial dan Pilkada
Menurut Bappenas ada 63 juta Millennial (20-35 Tahun) ini sama dengan 24% populasi usia produktif (14-16 Tahun) yang berjumlah 179,1 Juta orang di Indonesia. Menurut data IDN Research Istitute (Indonesia Millennial Report 2019) warga Millennial dibagi menjadi 2 kategori, Millennial Junior yang lahir tahun 1991-1998 dan Millennial Senior lahir tahun 1983 – 1990. Jumlah generasi Millennial yang hampir setengah dari jumlah pemilih, tentu jumlah yang tidak sedikit untuk berpartisipasi dalam pengawasan pilkada serentak tahun 2020 mendatang. Bagaimana gerakan Millennial untuk melangkah pada tataran pengawasan partisipatif? rata-rata 23,4 persen generasi Millennial mengikuti berita perkembangan politik di Indonesia dan sisanya cenderung tidak tertarik dengan isu-isu politik, menurut generasi Millennial berita politik terlalu rumit dan berat sehingga menimbulkan kejenuhan untuk mengikuti isu-isu politik tersebut (data IDN Research Istitute, 2019). Setidaknya ada beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam penyelenggara pemilu khususnya Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan Pemilu tentang bagaimana membangun grand design Pengawasan partisipatif di era Millennial yang inheren dengan era digitalisasi saat ini.
Poin pertama, pilkada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan yang dilaksanakan berdasarkan asas demokrasi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai Pancasila dan UUD 1945. Asas langsung yang dimaksud adalah rakyat memberikan hak suaranya secara langsung, tidak menggunakan perantara dan mutlak tidak dapat diwakilkan oleh orang lain, dengan asas ini akan menghindari jual beli suara pada saat pemungutan suara. Berikutnya adalah asas Umum, maksudnya tanpa terkecuali Warga Indonesia yang memenuhi syarat dan memiliki hak pilih tidak membedakan suku, ras atau agama. Asas selanjutnya Bebas, Bebas disini adalah rakyat bebas memilih dan menentukan calon yang berintegritas tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Asas Pemilu juga menganut asas Rahasia, hal ini berarti suara yang diberikan bersifat rahasia, hanya pemilih itu sendiri yang mengetahui. Terakhir Jujur dan Adil, Jujur maksudnya dilaksanakan harus sesuai regulasi yang mengatur untuk mengikat bahwa setiap Warga Negara yang mempunyai hak pilih untuk menentukan wakil rakyat dapat memilih sesuai kehendak mereka. Asas Adil, hal ini tidak ada perbedaan antara peserta pemilu dan pemilih artinya tidak ada perlakuan khusus atau diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Poin kedua, pengetahuan (Knowladge) dan Kemampuan (skill) tentang issue-issue strategis Pilkada 2020 di Provinsi Kalimantan Selatan kepada kaum Millennial ketika mereka akan melangkah pada tataran Partisipatif menjadi poin yang perlu dicermati.
Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan perlu melakukan kolaborasi dengan kaum Millennial melalui pendekatan digitalisasi, dilansir dari IDN Research Institute tentang Indonesia Millennial Report 2019, 79 persen kecenderungan kaum Millennial di Indonesia membuka smartphone mereka selama 1 menit setelah mereka bangun tidur dan selama kurang lebih 11 jam sebanyak 94,4 persen melenial terhubung ke internet dan juga 70 persen kaum Millennial untuk mengakses berita melalui media digital.
Media Social Instagram dan Youtube menjadi media sosial yang primadona bagi kaum Millennial, bagaimana tidak? mereka memtuskan sesuatu seperti membeli produk, tempat liburan bahkan tempat makan mereka memutuskannya melalui refrensi instagram dan youtube. Dalam aspek bekerja menurut Gallup (2016) menyatakan para Millennials dalam bekerja memiliki karakteristtik yang jauh berbeda dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, diantaranya adalah : (1). Para Millennial bekerja bukan hanya sekedar untuk menerima gaji, tetapi juga untuk mengejar tujuan (sesuatu yang sudah dicita-citakan sebelumnya), (2). Millennial tidak terlalu mengejar kepuasan kerja, namun yang lebih mereka inginkan adalah kemungkinan berkembangnya diri mereka di dalam pekerjaan tersebut seperti mempelajari hal baru, skill baru, sudut pandang baru, mengenal lebih banyak orang, mengambil kesempatan untuk berkembang, dan sebagainya, (3). Millennial tidak menginginkan atasan yang suka memerintah dan mengontrol, (4). Millennial tidak menginginkan review tahunan, mereka inginkan adalah on going conversation, (5). Millennial tidak terpikir untuk memperbaiki kekurangnnya, mereka lebih berfikir untuk lebih mengembangkan kelebihannya, dan (6). Bagi Millennial, pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja namun bekerja adalah bagian dari hidup mereka. Kecenderungan dan karakteristik Millennial ini yang perlu cepat ditangkap oleh Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan dalam mengkolaborasikan pengawasan partisipatif deangan kaum Millennial. Dengan kecenderungan itu Bawaslu perlu membuat aplikasi pendidikan dan laporan online berbasis android dan ios. Aplikasi itu dimaksud untuk menyampaikan informasi Pemilihan Kepala Daerah seperti potensi-potensi kerawanan pelanggaran yang terjadi di setiap tahapan, identifikasi pelanggaran-pelanggaran Pilkada, larangan-larangan yang dilakukan oleh Calon-calon Kepala Daerah dan sanksi-sanksi pidana lainnya. Laporan online juga perlu di bangun oleh Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan untuk mempermudah sistem pelaporan agar masyarakat dapat berkomunikasi langsung dengan pengawas yang ada di seluruh Provinsi Kalimantan Selatan. Strategi lain juga melibatkan secara aktif generasi Millennial dalam setiap kegiatan pengawasan untuk memberi pengetahuan dan skill kepada kaum Millennial. Membuat konten-konten di instragram dan youtube semenarik mungkin ini salah satu cara untuk mengajak kaum Millennial berpartisipasi dalam pengawasan pilkada. Cara efektif lainnya seperti melakukan road to kampus dan pemilih Pemula guna menumbuhkan kesadaran politik Millennial dan juga memberikan penghargaan atau reward terhadap Millennial yang aktif dalam pengawasan Pilkada.
Sekarang bagaimana kaum milenal mengimplementasikannya kolaborasi bersama Bawaslu? Banyak anak muda atau kaum Millennial memainkan peran penting sebagai agen perubahan (agent of change), kaum Millennial adalah aktor utama dalam membentuk agenda untuk pembangunan daerah, bagaimana pembangunan daerah akan berjalan dengan baik jika pelaksanaan pilkada serentak sebagai hulu dalam proses melahirkan pemimpin yang berintegritas serta berorientasi kepada pembangunan dan kesejahteraan rakyat belum berjalan sesuai yang diharapkan.
Generasi Millennial harus berperan aktif dalam menyuarakan partisipasinya terhadap penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 mendatang, salah satunya menyampaikan melalui akun media sosial pribadi maupun menyisipkan issue-issue kerawanan yang terjadi di setiap tahapan seperti politik uang dan pelanggaran-pelanggaran Pilkada lainnya pada saat membuat konten di youtube. Dilansir dari IDN Research Institute 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan generasi millennial akan menjadi generasi mayoritas dalam struktur demografi di Indonesia, jumlah penduduk Indonesia selama beberapa tahun mendatang terus meningkat, yaitu dari 265 juta pada tahun 2018 menjadi 282 Juta pada tahun 2024 dan mencapai 317 juta pada tahun 2045, dan dikelompokkan oleh IDN Research penduduk Millennial berusia 20-35 mencapai 24 persen, yaitu 63,4 juta dari penduduk kategori usia produktif (14-64 tahun) yang jumlahnya adalah 179,1 juta jiwa (67,6 persen). Pemilu serentak 2024 menjadi batas akhir antara generasi terdahulu dengan generasi Millennial dan dapat menjadi tantangan dan peluang bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum sampai ke jajaran bawahnya dalam membangun design kolaborasi pengawasan partisipatif bersama generasi Millennial.
Penulis: Doddy Yulihartanto, SE, MM
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan
Posting Komentar